Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan

 

BAB X ~ BAB XI

 

BAB X

PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN

Bagian Kesatu Perlindungan

Paragraf 1

Penyandang Cacat

Pasal 67

Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Paragraf 2

Anak

Pasal 68

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 69

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :

izin tertulis dari orang tua atau wali;

perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;

waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;

dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;

keselamatan dan kesehatan kerja;

adanya hubungan kerja yang jelas; dan

menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70

Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.

Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun

Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :

diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan

diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 71

Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi syarat :

di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;

waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan

kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.

Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 73

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 74

Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.

Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) meliputi :

segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

segala pekerjaan yang memanfaatkan , menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;

segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau

semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

Jenis-jenis pekerjaan yang membahaykan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75

Pemerintah berkewjiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja.

Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Paragraf 3

Perempuan

Pasal 76

Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00

Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. 07.00.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d pukul 07.00 wajib :

memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja

Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pulu 23.00 s.d pukul 05.00

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 4

Waktu Kerja

Pasal 77

Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.

Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau

8(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 ( lima ) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 78

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :

ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 79

Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.

Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

istirahat antara jam kerja = sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

istirahat mingguan 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 ( lima ) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;

cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan

istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunanannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.

Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 80

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81

Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 82

Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Pasal 83

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Pasal 84

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

Pasal 85

Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi

Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.

Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 5

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 86

Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :

keselamatan dan kesehatan kerja;

moral dan kesusilaan; dan

perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.

Perlindungan sebaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 87

Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Pengupahan

Pasal 88

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

upah minimum;

upah kerja lembur;

upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

upah karena menjalankan hak waktu istirahata kerjanya;

bentuk dan cara pembayaran upah

denda dan potongan upah;

hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

upah untuk pembayaran pesangon; dan

upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Pasal 89

Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas :

upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;

upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;

Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.

Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.

Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 90

Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.

Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.

Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 91

Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 92

Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 93

Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila :

pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;

pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan

pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sebagai berikut:

untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;

untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;

untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% ( lima puluh perseratus) dari upah;

untuk bulan selanjutnya dibayar 25 % (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sebagai berikut :

pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;

menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari;

Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 94

Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

Pasal 95

Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.

dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Pasal 96

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.

Pasal 97

Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup yang layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 98

Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar.

Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oelh Gubernur/Bupati/Walikota.

Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga Kesejahteraan

Pasal 99

Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.

Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 100

Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.

Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.

Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 101

Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan.

Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat 92), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI

HUBUNGAN INDUSTRIAL

Bagian Kesatu Umum

Pasal 102

Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

Dalam melaksankan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Pasal 103

Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :

serikat pekerja/serikat buruh

organisasi pengusaha;

lembaga kerja sama bipartit;

lembaga kerja sama tripartit;

peraturan perusahaan;

perjanjian kerja bersama;

peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Bagian Kedua Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Pasal 104

Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk cara mogok.

Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Bagian Ketiga Organisasi Pengusaha

Pasal 105

Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.

Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat Lembaga Kerja Sama Bipartit

Pasal 106

Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 ( lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.

Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.

Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kelima Lembaga Kerja Sama Tripartit

Pasal 107

Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.

Lembaga kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :

Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota; dan

Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.

Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Peraturan Perusahaan

Pasal 108

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Pasal 109

Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan

Pasal 110

Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.

Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (10 adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 111

Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :

hak dan kewajiban pengusaha;

hak dan kewajiban pekerja/buruh;

syarat kerja;

tata tertib perusahaan; dan

jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.

Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.

Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.

Pasal 112

Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.

Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.

Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.

Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 113

Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.

Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk

Pasal 114

Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.

Pasal 115

Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri

Bagian Ketujuh Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 116

Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah.

Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia .

Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 117

Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 118

Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 119

Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.

Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dalam mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 120

Dalam hal disatu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% ( lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.

Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 121

Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.

Pasal 122

Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.

Pasal 123

Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.

Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.

Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.

Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 124

Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :

hak dan kewajiban pengusaha;

hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;

jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama, dan

tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama

Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 125

Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.

Pasal 126

Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama

Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.

Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.

Pasal 127

Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.

Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 128

Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 129

Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.

Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 130

Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.

Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional.

Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau perbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 131

Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.

Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama, maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.

Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama, maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.

Pasal 132

Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.

Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 133

Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 134

Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pasal 135

Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah.

Bagian Kedelapan

Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Paragraf 1

Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.

Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Paragraf 2

Mogok Kerja

Pasal 137

Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138

Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.

Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.

Pasal 139

Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekeja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 140

Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :

waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhir mogok kerja;

tempat mogok kerja;

alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja dan

tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggungjawab mogok kerja.

Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.

Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara :

melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi, atau;

bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.

Pasal 141

Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.

Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.

Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.

Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.

Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Pasal 142

Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.

Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 143

Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan  secara sah, tertib, dan damai.

Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 144

Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang :

mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan, atau

memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

Pasal 145

Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.

Paragraf 3

Penutupan Perusahaan (lock out)

Pasal 146

Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 147

Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.

Pasal 148

Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh)  hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :

waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai  dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan

alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out)

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 149

Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh  dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.

Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.

Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.

Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila :

pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;

Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.